REALITANUSANTARA.COM
Oleh:
Duski Samad
Makassar -- Judul tulisan di atas diinspirasi oleh diskusi bersama pimpinan Perguruan Tinggi Islam Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan, Universitas Islam Makassar (UIM) yang mengunjungi penulis dihotel Arthama dalam pembicaraan intensif didapatkan banyak informasi dan pengalaman berharga tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, di antaranya tentang penghargaan masyarakat terhadap Masjid dan ulama.
Pandangan itu kemudian diperkuat dengan pencermatan lapangan, observasi empiris penulis berjalan pagi di Pantai Losari Kota Masasar dalam kunjungan selaku Ketua Senat UIN Imam Bonjol Padang, Selasa 24-26 Mei 2022 ke UIN Alauddin Makassar Sulawesi Selatan.
Masyarakat Makassar adalah suku bangsa yang bangga dengan asal usul keturunannya, yang lebih dikenal dengan suku BUGIS, begitu juga mereka percaya diri dengan gelar kebangsaan yang melekat pada entitas utama seperti gelar ANDI dan DAENG.
Kekuatan kultural, budaya dan agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Sulawesi Selatan adalah tali pengikat sosial dan kedaerahan yang tidak mudah digoyahkan oleh badai issue dan provokasi apapun. Cerita munculnya pemberontakkan DITII dibawah komodan Kahar Muzakkar itu sebenarnya ada hubungan dengan ketersinggungan pada status sosial dan pelanggaran kode etik kultural.
Penduduk Sulawesi Selatan suku bangsa Indonesia yang cinta tanah air sangat kuat, karena memang Raja-Raja di Sulawesi ini adalah perintis dan pejuang kemerdekaan yang gagah berani, lihat saja patung Sultan Hasanuddin yang dibahagian depan pinggang tersisip keris, itu isyarat bahwa orang Bugis siap berkorban nyawa untuk kehormatan dirinya, keluarga dan bangsanya.
Banyak cerita heroik dan patriotik tentang kepahlawanan orang Bugis. Makam Pangeran Diponegoro di Kota Makassar itu ikut mewarnai sejarah perjuangan Indonesia di Sulawesi Selatan.
Kota Makassar yang pernah berganti nama dengan Ujung Pandang, ketika masa pemerintahan Orde baru, era reformasi era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur dikembalikan kepada nama aslinya Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan adalah kota yang besar utama di belahan timur Indonesia.
Makassar yang dikenal dengan kuliner coto dan condro Makassar adalah daerah yang meninggal jejak peradaban Islam dan kepemimpinan ulama luar biasa. Tradisi sosial keagamaan dan kecintaan masyarakat muslim terhadap masjid dan ulama begitu besar dan patut menjadi teladan.
Beribu-ribu jumlah masjid yang ada di kota dan desa adalah fakta sosial begitu antusiasnya masyarakat dalam mendirikan, membangun dan menyediakan fasilitas masjid.
Kota Makkasar yang tidak terlalu luas ini saja memiliki lebih dari 3000 (tiga ribu masjid), yang diberi ditempat-tempat strategis di jalan-jalan utama, di perumahan, perkantoran dan gang sempitpun ada yang dua tiga masjid. Masjid begitu dekat dan saling beradu suara bila ada adzan dan begitu juga saat shalat biasa setiap waktunya.
Semangat mendirikan, membangun dan menyediakan pembiayaan untuk masjid ada kaitannya dengan kuatnya tertanam di jiwa masyarakat bahwa membangun masjid adalah menyediakan rumah di sorga kelak, seperti yang disampaikan ulama dalam khutbah dan ceramahnya. Ada ungkapan bahwa siapapun yang sukses, misalnya pejabat tinggi, orang-orang kaya atau tokoh populer belum akan lengkap arti keberadaannya, atau akan dianggap belum hebat jika belum mendirikan masjid dan membiayai masjid yang lazimnya dibangun atas biaya sendiri.
Tokoh dunia seperti Jawaharal Nehru Ghandi dan Nelson Mandela telah melakukan perubahan tatanan kehidupan kemanusiaan, maka peran ulama Syekh Yusuf Makassar, tidak kurang hebatnya dari dua tokoh di atas.
Ketika kesan ini penulis sampaikan dalam diskusi terbatas betapa hebatnya penghargaan pemerintah Sulawesi Selatan pada ulama, ada tanggapan itu hal yang biasa dan memang peran penting dari Syekh Yusuf Makassari dalam penguatan kehidupan beragama, dan perlawanan terhadap penjajah menyebabkan beliau dibuang ke Afrika Selatan.
Post a Comment